Jakarta | 8 Mentari News – Dalam tiga tahun terakhir, ECPAT Indonesia berhasil memotret situasi kasus-kasus eksploitasi seksual anak online yang membutuhkan respon khusus, cepat dan sistematis. Temuan-temuan ini penting untuk diketahui oleh pemangku kepentingan dan masyarakat lebih luas agar semkin banyak pihak yang lebih peduli dan dapat melakukan respon terhadap isu eksploitasi seksual anak online.
Untuk itu, ECPAT Indonesia akan mempaparkan terkait catatan akhri tahun 2023 dalam acara media briefing yang bertajuk ;“Keberlanjutan Program Perlindungan Anak dalam Menghapus Eksploitasi Seksual Anak Online Di Indonesia” yang akan diselenggarakan secara online zoom, Jumat(29/12/2023)
Dalam acara media briefing tersebut menghadirkan para narasumber seperti ;Dr. Ahmad Sofian SH. MA selaku Kordinator Nasional ECPAT Indonesia, Rio Hendra selaku Kordinator Advokasi dan Layanan Hukum ECPAT Indonesia dan Shoim Sahriati selaku Direktur Yayasan KAKAK Solo, dengan Sonya Helen selaku Mediator dari Jurnalis Senior Kompas.
Dalam paparanya Dr. Ahmad Sofian SH. MA memberikan apa saja yang menglatar belakangi semua kejahatan tersebut ; “Yang menglatar belakangi kejahatan Eksploitasi Seksual Anak dalam situasi global itu adalah berkembangnya teknologi dengan cepat sehingga menciptakan perubahan dalam bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak secara daring,kemudian di seluruh dunia yang namanya ruang internet yang berkembang pesat membuat anak-anak lebih rentan terhadap eksploitasi dan pelecehan seksual”, ujar Ahmad Sofian
Bahaya pelaku kejahatan seksual anak ini difasilitasi oleh teknologi dan ada trend baru yang sebelumnya tidak pernah kita bayangkan jika mereka bisa saling shared dan saling berdiskusi berbagai hal tentang kejahatan eksploitasi seksual anak .
Eksploitasi seksual anak dan perlakukan yang salah terutama terhadap anak -anak itu biasa terjadi pada platform media sosial seperti WhatsApp, Facebook dan Facebook messenger, ungkap Ahmad Sofian
Yang mirisnya di dalam laporan disrupting Harm terungkap bahwa ada 56% anak itu tidak pernah mengceritakan insiden yang mereka alami kepada siapapun dan ketika anak tersebut lebih memilih untuk diam itu bisa membahayakan mental psikologi karena si anak tersebut memendam suatu hal yang sangat berat yang dialami dari perlakukan kekerasan dalam seksual anak.
Dari rendahnya pelaporan yang ada ini, menurut korban disebabkan oleh ketidaktahuan mengenai siapa yang harus dia hubungi atau ajak berbicara ,rasa bersalah, merasa malu dan kekhawatiran tidak dapat di mengerti dan kekhawatiran akan menimbulkan masalah bagi keluarga
Melihat dari kejadian diatas tersebut maka perlunya adanya kajian dan penelitian terkait dengan siatusi eksploitasi seksual anak di Indonesia yang nantinya bisa menjadi bahan untuk kebijakan , tegas Ahmad Sofian
Kemudian perlunya peningkatan kapasitas kebijakan penegak hukum untuk mengimplementasi undang-undang yang terkait eksploitasi seksual anak agar terbangun perspektif terhadap korban dan segera sahkan Perpres perlindungan anak secara daring.
Bagaimanapun Negara harus mampu membatasinya eksploitasi seksual anak dalam ruang digital dan negara harus memperkuat sistem keamanan cyber mereka atau Negara harus bertanggung jawab jika terjadi eksplorisasi anak, tutur Ahmad Sofian.
Penguatan literasi digital pada anak (korban yang erat berhubungan dengan media atau konten, meningkatnya peran keluarga dalam mengedukasi dan mendampingi anak, mempermudah proses hukum untuk kasus kekerasan dan eksplorisasi seksual untuk mengjerat para pelaku dan terakhri kita juga perlu memperkuat jaringan antar multistakeholder dalam melakukan pencegahan dan penangan kasus dari mulai basis di sekolah dan di masyarakat, kata Shoim Sahriati. (RK)