• Sab. Des 21st, 2024

Membangun Ekosistem Kendaraan Listrik Indonesia : Bersakit-sakit Dahulu, Bersenang-senang Kemudian

ByAdmin

Okt 8, 2022
0 0
Read Time:2 Minute, 20 Second

Jakarta | 8 Mentari News – Kementerian Perhubungan menargetkan 90% angkutan umum di Indonesia berbasis baterai pada 2030. Namun harga kendaraan listrik yang tinggi mengganjal harapan itu. Ibarat peribahasa lama yang mengatakan bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.

Tantangan itu langsung dijawab dengan optimisme oleh Dr. rer. nat (rerum naturalium) Evvy Kartini, M.Sc, yang mengatakan Indonesia bisa independen dalam energi baterai. Memiliki sumber daya alam yang besar, menurutnya, Indonesia bisa independen dalam energi.

Peneliti pada Pusat Sains dan Teknologi Bahan Maju, Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) itu adalah seorang fisikawan dengan keahlian dalam hamburan neuron dengan ilmu material.

Penemu konduktor superionik kaca (penghantar listrik berbahan gelas) ini merupakan salah satu peneliti utama Batan. Penemuannya berpotensi mempengaruhi teknologi baterai yang lebih ramah lingkungan.

Berbicara dalam diskusi pada Pameran Busworld Southeast Asia 2022 di JEIxpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Dr. rer. nat Evvy Kartini mengatakan kita seharusnya memiliki visi Indonesia independen dalam energi.

“Selama semua barang masih kita impor, itu namanya kita tidak independen. Mobil impor itu berarti kita tidak independen. Bila bahan baku kita impor, itu tidak independen. Seharusnya kita independen karena memiliki sumber daya alam yang melimpah.

Terkait dengan program transisi energi dari kendaraan berbasis BBM menuju kendaraan listrik, Evvy Kartini mengatakan, jantung dari kendaraan adalah baterai. Ada banyak baterai yang digunakan kendaraan.

Sementara, katanya lebih lanjut, dalam setiap baterai memiliki komposisi nikel mencapai 80%. Indonesia merupakan negara penghasil terbesar nikel.

Karena itu, Evvy Kartini mengungkapkan seharusnya Indonesia independen dalam hal baterai. Dia mengatakan, Indonesia perlu membangun pabrik kendaraan listrik karena bahan baku baterai ada dan melimpah di Indonesia.

Evvy melihat problem kita ada pada industri, bukan pada riset. Walau kita kaya dengan bahan baku, namun kita belum maksimal membangun industri kendaraan listrik itu di dalam negeri. Buktikan kita masih melakukan impor kendaraan.

Sebagai seorang peneliti kawakan internasional, Evvy Kartini beranggapan tetap bekerja sama dengan industri atau lembaga lainnya.

Untuk mendukung sumber daya alam, manusia Indonesia harus memiliki tingkat pendidikan dan ketrampilan yang setara dengan yang dimiliki negara Barat dan Amerika.

Evvy prihatin bila terlalu banyak tenaga kerja asing diimpor ke Indonesia. Sebaliknya, dirinya berharap dengan kualitas pendidikan dan ketrampilan memadai, semua pekerjaan produksi material penting dapat dilakukan oleh putra-putri Indonesia sendiri.

Lulusan ITB Bandung dan mengambil S3 di Jerman itu memiliki keahlian dalam pembuatan baterai mikro yang dapat diisi ulang. Baterai yang dibuat dengan teknik hamburan neutron itu mampu menghasilkan daya yang lebih besar dibanding baterai biasa yang ada saat ini dan ramah lingkungan.

Segudang prestasi internasional telah diraihnya. Namanya tercatat sebagai peneliti utama pada jurnal internasional bergengsi.

“Baterai ibarat jantung yang mengisyaratkan manusia hidup. Indonesia punya sumber daya nikel yang besar untuk pembuatan baterai. Sudah saatnya kita independen dalam energi,” tutur Dr. Evvy Kartini.

Evvy berharap kita menjadi pemegang lisensi baterai Indonesia di dunia. Dan, dia berharap kita harus menguasai teknologinya supaya Indonesia mandiri. (RK)

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *